25 Agustus 2017
Menyambut hari pertelevisian Indonesia yang dirayakan bulan Agustus
ini menghadirkan cerita soal pertelevisian
Indonesia yang diolah dari berbagai sumber terpercaya.
Kisah soal pertelevisian Indonesia,
bermula dari upaya prestis pemerintahan Orde Lama Soekarno menyambut
Asian Games 1962 yang kebetulan berada di Jakarta.
Usul kehadiran siaran televisi di
Indonesia disampaikan menteri di kabinet bernama Maladi, dimana usul
pertama kali sebenarnya terjadi di tahun 1952, untuk mendukung
pelaksanaan pemilu pertama di Indonesia, Pemilu 1955. Meskipun akhirnya
ditunda, namun usul ini akhirnya diterima saat Indonesia menjadi
penyelenggara Asian Games, yang menjadi pertaruhan bernilai strategis
bagi Soekarno dan pemerintahannya, yang saat itu masih menganut
Demokrasi Terpimpin. Ada ambisi yang terpendam, dibalik kehadiran siaran
televisi di Indonesia.
Pembentukan stasiun televisi pertama di
Indonesia langsung dipercepatkan. Selama kurun waktu setahun dari 1961
sampai 1962, kepanitiaan yang mengurusi siaran televisi dibawah komite
Asian Games terus bekerja membagikan perangkat televisi bekerjasama
dengan lembaga pemerintah untuk para PNS sambil mempersiapkan hal teknis
non teknis terkait siarannya.
Akhirnya, kita menyebut stasiun televisi
pertama ini adalah TVRI alias Televisi Republik Indonesia. Siaran
pertama kali TVRI dilakukan pada 17 Agustus 1962, namun secara resmi
siaran dihitung pada 24 Agustus 1962. Tanggal inilah yang disebut
sebagai hari pertelevisian Indonesia, dan kemudian nantinya dikenal juga
sebagai hari ulang tahun 3 stasiun TV : TVRI, RCTI dan SCTV.
Setelah Asian Games selesai, TVRI berada
dibawah sebuah yayasan yang kemudian disebut Yayasan TVRI. Bisa
dikatakan, hampir tak ada perencanaan selanjutnya terkait dengan masa
depan TVRI. Selama kurun waktu lebih dari 20 tahun, siaran TVRI
memonopoli siaran televisi di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke,
pasti selalu ada TVRI. Ekspansi pemancar TVRI terus dilakukan, apalagi
sejak dipermudah dengan adanya SKSD alias Sistem Komunikasi Satelit
Domestik Palapa yang hadir di era Orde Baru pada 1976 yang diharap
membantu masyarakat di wilayah blank-spot untuk bisa menangkap siaran
TVRI.
Siaran TVRI mencapai puncak monopoli
ketika masa Orde Baru. Setelah Yayasan TVRI masuk dalam struktur
Departemen Penerangan, segala hal soal TVRI ikut diatur oleh departemen
ini, bahkan hingga soal narasumber. Meskipun TVRI sempat mengalami masa
“kejayaan” termasuk soal pendapatan seperti iklan (ditunjukkan dengan
adanya program Siaran Niaga yang rekamannya kini bisa kita lihat di
Youtube) yang bisa diperoleh tanpa ketergantungan terhadap anggaran
negara secara berlebih, namun pada 1981 siaran ini hilang, karena
dianggap menyuburkan budaya konsumtif (meskipun unsur politis tetap saja
muncul dibalik adanya peraturan tersebut).
Pada masa ini, TVRI dipergunakan sebagai
salah satu “alat” pemerintah untuk memperkuat propaganda
politik-sosial-budaya. Mulai dari soal Repelita, GBHN hingga
Klompencapir dan Keluarga Berencana. Pesan-pesan propaganda bukan hanya
muncul di pemberitaan, yang disindir banyak pihak yang pada saat itu
mengatakan bahwa TVRI hanya memberitakan “berita seremonial”, namun juga
di program-program lain, seperti Si Unyil.
Kehadiran SKSD menjadi “bom waktu” yang
mengubah percaturan siaran televisi di Indonesia. Dengan adanya
transponder yang tersisa di satelit Palapa membuat Telkom menyewakan
kepada stasiun TV luar negeri. Maka, secara otomatis pemirsa televisi
kita bisa menangkap siaran tersebut. Hal ini menggembirakan, karena
banyak yang menganggap siaran TVRI membosankan. Meskipun pemerintah
berupaya menyensor dan menertibkan siaran, namun akhirnya mereka tak
berdaya apa-apa menghadapi hal ini.
Setelah itu, tren rental video
bermunculan. Namun, tak berlangsung lama sampai akhirnya muncul siaran
stasiun TV swasta yang rupanya masih disupport oleh keluarga
Cendana dan kroni dari Soeharto sebagai presiden saat itu. RCTI memulai
siarannya pada 1989, meskipun perjalanan sesungguhnya terjadi pada 1987,
dengan melakukan siaran percobaan di Jakarta dengan dekoder. Setelah
itu, SCTV hadir di Surabaya pada 1990.
Beberapa keputusan pemerintah
(Departemen Penerangan) hasil ”intervensi” keluarga Cendana dan
kroni-kroninya pun keluar, seperti mengizinkan RCTI untuk bersiaran
tanpa dekoder untuk bisa menangkap siarannya, serta izin siaran nasional
setelah munculnya TPI sebagai stasiun TV nasional (hanya karena
kerjasama dengan Depdikbud alias Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Akibat siaran nasional inilah,
konten-konten ala Jakartanistik yang jadi
terus beranak pinak hingga hari ini. Konsistensi program berita mudik
pas Lebaran di Nagrek dan Cikampek salah satunya. Menurut Ade Armando,
akademisi dan pengamat dunia media penyiaran, konsep yang awalnya
diterapkan RCTI dan SCTV dimana RCTI diizinkan siaran di Jakarta dan
Bandung serta SCTV di Surabaya dan Denpasar sebenarnya sudah ideal,
dimana SCTV saat itu bersiaran sebagai relay siaran RCTI di wilayah yang
diizinkan. Malah, menurutnya sudah mirip dengan pola Sistem Siaran
Berjaringan (SSJ) yang mulai diterapkan saat UU Penyiaran no 32/2002
diberlakukan.
Bukan hanya RCTI dan SCTV yang
menerapkan gaya “berjaringan” ini. Berdasar penelusuran, perizinan
televisi “berjaringan” sudah dikeluarkan kepada grup Salim yang kemudian
kita kenal dengan Indosiar, nantinya, di Batam bekerjasama dengan
Ramako dan Semarang dengan Suara Merdeka. Sementara itu, izin sudah
keluar juga kepada grup Bakrie, yang kemudian kita kenal dengan ANTV,
nantinya, di Yogyakarta dan Palembang. Namun, izin-izin ini tak
berlaku lagi sejak izin siaran nasional langsung dikeluarkan kepada 5
stasiun TV yang kita kenal kini.
Namun karena faktor bisnis, seperti soal
keuntungan iklan yang terus menerus lebih banyak ke RCTI, soal branding
SCTV dan juga karena aturan “intervensi” tadi, mengakibatkan RCTI dan
SCTV pisah di tahun 1993, dan pada 1996 pisah secara “resmi” setelah tak
merelay siaran Seputar Indonesia dan pada tahun ini juga SCTV membuat
Liputan 6. RCTI dikendalikan oleh Bambang Trihatmodjo dan Peter Sondakh,
sementara SCTV oleh Henry Pribadi, Peter Gontha, Sudwikatmono dan
Halimah Agustina. Semua orang-orang ini, tak lain dan tak bukan adalah
keluarga dan kroni dari Soeharto.
Kehadiran TPI sebenarnya juga tak
seutuhnya mendapat dukungan dari Depdikbud sebagai lembaga yang
dikatakan bekerjasama dengan mereka. Meskipun demikian, siaran
pendidikan yang bersifat instruksi (ala-ala siaran TV Edukasi jaman
sekarang) masih tetap disiarkan mereka, dengan awal-awal “menumpang”
pada infrastruktur dan frekuensi TVRI, sebelum akhirnya bersiaran secara
mandiri. TPI dimiliki oleh Siti Hardiyanti Rukmana alias mbak Tutut
atau bu Tutut, dan masih seafiliasi dengan Tabloid Wanita Indonesia.
Pada 1994, Indosiar dikabarkan mulai
melakukan ujicoba siaran. Saat itu juga, mereka mulai menggodok konsep
program dan produksi dengan asistensi TVB Hongkong yang kemudian diwujudkan dengan logo Indosiar yang kita kenal kini.
Asistensi ini sampai-sampai “mengimpor” karyawan TVB diberbagai lini
yang ada, meskipun akhirnya memicu protes dan perhatian pemerintah, yang
kemudian ditindaklanjuti secara perlahan digantikan oleh orang
Indonesia menjelang siaran resminya pada 1995, sehingga pada 1996 semua
karyawan berasal dari Indonesia. Meskipun sempat beredar kabar bahwa
Indosiar dimiliki juga oleh TVB, namun hal ini kemudian dibantah.
Indosiar, dimiliki keluarga Sudono Salim yang juga memiliki beberapa
lini usaha, terutama Indofood dan Bogasari serta BCA saat itu.
Tahun 1993, siaran ANTV yang
dikendalikan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono dilaksanakan dari
Lampung, meskipun akhirnya pindah juga ke Jakarta di tahun yang sama.
ANTV yang kemudian dikenal sebagai penayang MTV di Indonesia pertama
kali pada 1995 ini bisa dikatakan masih dan satu-satunya stasiun TV
era Orde Baru yang masih dikendalikan pemilik yang sama, oleh keluarga
Bakrie hingga hari ini, meskipun dalam sejarahnya sempat beralih
kepemilikan karena krisis 1997-8.
Pada saat itu, meskipun stasiun televisi
swasta telah diizinkan, namun soal pemberitaan, tetap masih dimonopoli
TVRI. Pemberitaan yang mengkritik pemerintah sama dengan “cari mati”.
Maka, pemerintah saat itu berupaya mengontrol dengan kewajiban aturan
untuk merelay siaran TVRI pada tayangan berita utama, termasuk program
berita TVRI dimasa itu : Dunia Dalam Berita.
Meski demikian, stasiun TV dengan mudah
mengakalinya dengan beberapa mekanisme. Seperti pada kasus Seputar
Indonesia dan Fokus yang program beritanya diproduksi oleh pihak ketiga
(namun sebenarnya masih dikendalikan stasiun TV itu juga, meskipun dalam
kasus Fokus, Indosiar bekerjasama dengan grup Kompas). Selain itu,
fokus pemberitaan yang cenderung menjauhkan diri dari soal politik dan
pergolakannya, membuat stasiun TV saat itu masih “aman”. Kadangkala
memang kebablasan sisi kritisnya, meskipun kebanyakan sudah terkait
dengan kepentingan bisnis sang pemilik. Namun, ini masih mending kalau
dibandingkan dengan mengkritisi pemerintah terang-terangan (disaat
genting pula) seperti kasus “cabut gigi” (akan dibahas di bagian
selanjutnya).
Televisi, sejak lama menjadi disrupsi bagi media jenis lain di negeri ini. Nilai belanja iklan
televisi terus mengalami kenaikan yang signifikan, dimana pada 1995
berjumlah Rp 1 Triliun, namun terus naik hingga pada tahun 2000 menjadi
Rp 4 Triliun (Ishadi SK : 2014, hlm 78). Pada 2012 saja, belanja iklan
televisi sudah mencapai Rp 57 Triliun (Ade Armando : 2016, hlm 165) dan
tahun 2016 kemarin, menjadi Rp 103,8 Triliun (Nielsen : 2016). Sementara
media lain terus mengalami penurunan nilai belanja iklan, meskipun
tentu tidak sedahsyat penurunan yang terjadi belakangan ini, terutama
pada media cetak setelah bersaing dengan media internet.
Meskipun internet kini telah menjadi
pilihan masyarakat, namun penetrasi televisi – begitupun juga belanja
iklannya, tetap paling terbesar. Alih-alih makin enak, nilai yang besar
ini sesungguhnya tetap menjadi tantangan karena persaingan yang kian
ketat. Setidaknya ada 15 stasiun TV di Indonesia (berdasar data Nielsen)
dengan jangkauan nasional. Belum ditambah dengan stasiun TV lokal yang
mengais rejeki di “pasar” yang sama.
Namun, televisi juga pernah mengalami
masa-masa keterpurukan. Tepatnya pada krisis 1997-8. Nilai belanja iklan
di televisi turun dimana posisi pada 1997 mencapai Rp 2,6 Triliun, dan
setahun kemudian menjadi Rp 2,2 Triliun. Stasiun TV yang ada saat itu
mengakali situasi dengan salah satunya memperpendek waktu siarnya,
padahal beberapa stasiun TV diketahui sudah melakukan siaran dari pagi
hingga ke malam hari. Akibat krisis ini juga, para pemilik stasiun TV
yang ada satu persatu mulai melepas stasiun TV yang mereka punya, ke konglomerasi media gaya baru.
Masa-masa 1997-8 adalah masa sulit dalam berbagai sektor ekonomi, bahkan menjalar hingga ke polsosbud (politik-sosial-budaya) di Indonesia. Televisi pun juga mengalami situasi serupa.
Meskipun demikian, televisi pada masa ini dianggap sebagai salah satu “penyulut” api reformasi yang digaungkan oleh para mahasiswa dan aktivis pro reformasi. Posisi televisi secara umum, menjelang hari-hari terakhir Orde Baru, dapat dikatakan telah menjadi pembangkang sepenuhnya terhadap rezim (Ishadi SK : 2014, hlm 75), padahal seperti kita tahu, stasiun TV yang ada saat itu masih berada dalam lingkar keluarga presiden dan kroni-kroninya.
Peristiwa-peristiwa yang dianggap “heroik” tersebut seperti ketika “cabut gigi” menjadi “kode” yang secara tak langsung meminta agar Presiden Soeharto agar mundur. Kejadian ini terjadi di Liputan 6 SCTV, dimana saat itu presenter Ira Koesno mewawancarai Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang jadi salah satu aktivis penuntut reformasi, dan salah satu kalimat yang benar-benar menjadi “kode” tak sengaja terucap : “Ya, enggak bisa. Satu gigi yang sakit harus dicabut. Jangan sampai seluruh badan menderita hanya karena satu gigi yang busuk itu tidak dicabut..” (Ishadi SK : 2014, hlm 186).
Meskipun istilah “cabut gigi” ini sudah dibicarakan sebagai “idiom yang bisa dipahami oleh mereka yang berpendidikan tinggi” dengan Ira Koesno dan produser program saat itu, Don Bosco Selamun (Ishadi SK : 2014, hlm 182) sebagai “penghalusan” terhadap tuntutan, namun Sarwono saat itu mengakui bahwa kesalahan telah tak sengaja ia buat, bahwa “cabut gigi” ini sebenarnya adalah kata sandi dan harusnya yang keluar adalah kata kiasan, meski menurutnya itu juga karena “counter” Ira Koesno yang dianggap mendesak kembali pada pertanyaan soal siapa yang mesti “dikorbankan” (Ishadi SK : 2014, hlm 181).
Hal ini menimbulkan keriuhan di redaksi saat itu hingga ada pihak-pihak yang berupaya untuk menghentikan wawancara, salah duanya pemimpin redaksi Liputan 6 saat itu, Sumita Tobing dan Peter Gontha sebagai bagian dari pemilik SCTV. Meski wawancara bisa selesai dalam dua segmen sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, namun Peter Gontha kemudian memanggil tim redaksi yang bertugas saat itu, karena dirinya mendapat telepon dari beberapa pejabat pemerintah, seperti Menteri Penerangan saat itu, Harmoko (Ishadi SK : 2014, hlm 183).
Kasus yang lain terjadi di RCTI, dimana Desi Anwar, saat itu masih jadi presenter Seputar Indonesia, selama 2 hari berturut-turut mengenakan pita hitam pada pakaian yang digunakannya saat ia bersiaran, sebagai bentuk keprihatinan terhadap situasi yang kian memanas saat demo mahasiswa, yang menimbulkan tewasnya 4 mahasiswa Trisakti (Ishadi SK : 2014, Hlm 172).
Sementara itu, masih di RCTI juga, Dana Iswara menjadi salah satu saksi (karena dikatakan ada para wartawan foto media cetak) dari pernyataan Ketua MPR/DPR dan mantan Menteri Penerangan, Harmoko, yang secara mengejutkan saat itu memberikan pernyataan..
“Dalam menanggapi situasi tersebut di atas, Pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,”
Pernyataan ini jelas-jelas mengejutkan, apalagi mengingat Harmoko adalah salah satu loyalis Soeharto dan dibesarkan juga unsur “ketokohannya” karena Soeharto. Apalagi beberapa hari sebelumnya, ia masih optimis dengan pemerintahan Soeharto, dengan mengatakan bahwa presiden menyambut baik usulan Reformasi (Ishadi SK : 2014, hlm 174). Dia terkenal sebagai Menteri Penerangan terlama, dimana pada masanya sering dilakukan pembredelan izin media cetak seperti Detik dan Tempo, meskipun kenyataannya ia memiliki media cetak kelas “gurem” bernama Pos Kota, yang hingga hari ini masih terbit.
Pernyataan yang “kontroversial” ini segera ditayangkan secara berulang dan materi beritanya disebarkan ke stasiun televisi dalam dan luar negeri. Hal ini karena media televisi dan cetak banyak yang memilih meliput aksi demonstrasi mahasiswa diluar gedung MPR/DPR, dan RCTI sebagai media televisi satu-satunya yang meliput ini. Seperti kasus “cabut gigi”, redaksi segera mendapatkan peringatan dari pemilik RCTI, Bambang Trihatmodjo terkait dengan penayangan liputan tersebut.
Puncaknya dialami Indosiar, dimana mereka melanggar embargo untuk tidak menginformasikan rencana pengunduran diri Presiden Soeharto yang (saat itu) sudah fix dan kecil kemungkinannya untuk batal di malam 21 Mei 1998. Embargo sendiri adalah salah satu bentuk kesepakatan antara narasumber dengan wartawan untuk menahan turunnya berita sampai waktu yang ditentukan, dimana sang narasumber yaitu Amien Rais meminta agar berita tersebut turun setelah pengumuman Presiden Soeharto benar-benar menyatakan mengundurkan diri.
Namun, pemimpin redaksi Fokus saat itu, Dedy Pristiwanto memilih nekat untuk melanggar kesepakatan ini. Dia sudah memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi, dimana jika saat itu Presiden Soeharto batal memutuskan mundur, maka paling terjadi pro kontra, paling sialnya, meskipun tak akan mungkin ditangkap ataupun ditutup karena posisi presiden yang terdesak (Ishadi SK : 2014, hlm 195).
Pada redaksi Fokus, yang saat itu merupakan kerjasama Indosiar dan Kompas, ada kebijakan bahwa segala liputan berita harus lewat “pintu” yang disebut sebagai “sensor” atau Komisi Siaran, yang mengontrol QC (Quality Control) dan sensor terhadap konten yang akan ditayangkan. Hal yang ini sebenarnya umum di stasiun televisi, dimana program-program drama dan non drama yang biasanya terkena aturan ini, namun akan berbeda jika berlaku pada pemberitaan, yang sebenarnya tak bisa dikenai “sensor”.
Namun, konstelasi politik berjalan sangat dinamis saat itu. Opsi yang ditawarkan Presiden Soeharto kepada para menteri-menterinya untuk ikut dalam kabinet (yang disebut) Reformasi ditolak, dan justru mereka semua memilih mundur dari jajaran kabinet, sehingga hanya Sekretaris Negara dan dirinyalah yang masih bertahan. Keputusan ini menghasilkan keputusan yang kita kenal di 21 Mei 1998 tersebut.
Setelah lolos dari “sensor” karena orang-orang di Komisi Siaran sudah pulang, akhirnya berita ini tayang hanya sekali di Fokus Pagi. Sepanjang waktu antara penayangan berita hingga pengumuman resmi pengunduran diri Presiden Soeharto, telepon berdering di redaksi mempertanyakan tentang berita tersebut.
Peristiwa-peristiwa diatas mungkin hanyalah puncak. Jauh sebelumnya, pemberitaan soal aksi mahasiswa dan aktivis menuntut turunnya Soeharto sudah mulai diperkuat, meskipun memang dalam taraf yang hati-hati. Pemerintah juga sempat memberlakukan TV Pool (istilah dimana beberapa stasiun TV berkonsolidasi merelay siaran yang sama, dengan satu stasiun TV sebagai pelaksana produksi, seperti yang rutin dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI), dengan tentunya menggunakan TVRI sebagai pelaksana produksi, untuk meredam dampak meluasnya aksi yang bisa saja berujung kericuhan, meskipun ternyata hal ini tak efektif karena stasiun TV masih diperbolehkan menayangkan program beritanya sendiri, serta beragam protes masyarakat.
Setelah situasi tersebut, perlahan namun pasti stasiun TV yang ada mulai beralih kepemilikan. Seperti RCTI kepada HT atau Hary Tanoe secara resmi di 2001, dengan mengakuisisi Bimantara Citra (kini Global Mediacom), induknya RCTI, melalui sebuah perusahaan yang disebut sebagai Bhakti Investama (kini MNC Investama), yang tadinya perusahaan sekuritas. TPI dijual kepada PT Berkah Karya Bersama, perusahaan yang disebut-sebut (juga) punyanya HT dengan Investment Agreement di tahun 2002 yang jadi pokok persoalan perebutan TPI beberapa tahun setelahnya.
SCTV dijual ke grup Emtek mulai tahun 2001, melalui PT Abhimata Mediatama secara indirect lewat PT Surya Citra Media Tbk, induk SCTV yang baru menjual saham ke publik (IPO) di tahun 2002. Saat itu, grup Emtek belum jadi pengendali, dimana masih berbagi kepemilikan dengan Henry Pribadi dan Sudwikatmono alias Indika, dimana salah satu tandanya adalah penempatan sang anak, Agus Lasmono (yang punya NET sekarang) dalam jajaran komisaris. Tahun 2005, Emtek baru menguasai SCTV secara utuh.
Indosiar, memang sempat beralih kepemilikan, dimana PT Holdiko Perkasa, sebagai induk Indosiar diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) karena kasus rush Bank BCA yang satu induk dengan Indosiar. Namun, beberapa tahun setelahnya Indosiar “kembali” dikuasai utuh keluarga Soedono Salim, yang dipimpin Anthoni Salim, sang anak, setelah kehadiran induk usaha baru Indosiar bernama Indosiar Karya Media, yang dimiliki oleh perusahaan bernama PT Prima Visualindo. Nah, perusahaan inilah yang jadi jalan masuk keluarga Salim disini. Beberapa tahun kemudian, Indosiar Karya Media diakuisisi Surya Citra Media dan akhirnya digabungkan dalam satu perusahaan, sehingga menjadikan Indosiar dan SCTV “saudara” seperti sekarang.
ANTV, memang masih dimiliki keluarga Bakrie, meskipun sempat beralih kepemilikan terkait hutang-hutang yang mesti dibayar, dengan konversi menjadi kepemilikan saham pada tahun 2002.
Meskipun ada informasi bahwa HT masih ada keterkaitan dengan Keluarga Cendana, termasuk saat akuisisi TPI dan RCTI (maksudnya sumber modalnya), namun faktanya justru tidak demikian. HT masih termasuk konglomerasi televisi gaya baru, karena toh kepemilikan semua stasiun TV yang ia miliki sekarang adalah kepunyaannya sendiri, kecuali TPI yang bermasalah. Masih bisa dianggap spekulasi.
Konglomerasi televisi gaya baru muncul ketika ada 5 stasiun TV swasta baru yang hadir di Indonesia. Ini sebagai buah kebebasan setelah Departemen Penerangan sudah tak “sekaku” dulu dalam perizinan, baik media cetak (penghapusan SIUPP) dan media elektronik, yang akhirnya dibubarkan pada 1999. Disini, kita bisa menyebut HT, Chairul Tanjung, Surya Paloh, Abdul Latief, Jakob Oetama sebagai bagian diantaranya.
Kehadiran 5 stasiun TV baru memeriahkan persaingan antar stasiun TV di Indonesia. Sementara itu, TVRI makin terseok dalam persaingan, apalagi ditambah sejak awal abad ke-21, TVRI sempat berganti-ganti badan usaha, dari Perjan kemudian PT (Persero) dan terakhir LPP, berdasar amanat UU Penyiaran di tahun 2002.
Kelima stasiun TV tersebut adalah TV7 milik Kompas Gramedia (izin awal dimiliki oleh pengusaha (alm) H. Sukoyo, yang nantinya mendirikan Spacetoon Indonesia), Trans TV milik Chairul Tanjung dengan Bank Mega sebagai lini usaha terbesarnya, Lativi milik Abdul Latief, mantan Menteri Tenaga Kerja di era Orde Baru yang punya grup pusat perbelanjaan Pasaraya, Global TV milik Bimantara alias HT (izin awal dimiliki kelompok Nasir Tamara, Ralie Siregar – eks direktur utama RCTI, dkk) dan Metro TV dengan Surya Paloh sebagai pemilik (diinformasikan kalau Metro TV pada awalnya sempat dimiliki juga oleh HT melalui Bhakti Investama, meskipun bukan mayoritas).
Kehadiran stasiun TV baru seperti Trans TV tiba-tiba menjadi rising star dalam beberapa tahun sejak siaran awal di 2001, dengan menempati top 5 stasiun TV dengan performance rating dan share tertinggi. Bahkan, pada tahun 2003 sudah bisa untuk balik modal alias BEP (Break Even Point). Meskipun kasus berbeda dialami TV7 dan Lativi yang masih berjuang menghidupi operasionalnya, hingga akhirnya keduanya diakuisisi oleh Trans dan Bakrie dan mengganti brandingnya.
Lativi diinformasikan mengalami jerat hutang, yang salah satunya dikarenakan adanya sangkut paut dengan hutang dari unit usaha Abdul Latief yang lain, Pasaraya yang mesti direstrukturisasi. Dalam sebuah publikasi, Lativi sempat dikabarkan akan diakuisisi beberapa stasiun TV, dari Trans TV hingga TV3 Malaysia. Meskipun kemudian justru keluarga Bakrielah yang menguasai Lativi sejak 2007 dengan menyelesaikan hutang-hutang yang dialami, dan menjadi TVOne dengan fokus program berita dan olahraga. Berubah jauh dari citra Lativi yang dekat dengan “esek-esek” dan smackdown, meskipun sempat bekerjasama dengan Nickelodeon (Dora The Explorer dan Spongebob Squarepants) sebelum akhirnya pindah ke Global TV. TVOne sempat membuka ruang untuk program hiburan (kembali) salah satunya dengan menayangkan drama Turki, yang sayangnya tak sesuai ekspektasi seperti yang dialami ANTV, saudaranya sendiri.
TV7, meskipun dikenal karena merelai siaran Al Jazeera terkait perang Irak beberapa tahun lalu, namun juga tak bisa menghindari dari kerugian. Performanya termasuk tier-2 (peringkat 6-10) bersama ANTV dan Lativi pada masanya. Upaya menjalani kemitraan – “bahasa halus” dari akuisisi, dilakukan Kompas Gramedia dengan grup Trans pada 2006, yang menjadikan TV7 “berganti baju” ke Trans 7. Grup Trans menjadi pemegang saham mayoritas dari Trans 7, namun Kompas masih menguasai sebagian saham Trans 7, yang ditunjukkan dengan adanya Komisaris dari pihak Kompas, Asih Winanti (sebelumnya, sempat ada Agung Adiprasetyo di jajaran komisaris, namun karena Agung mengundurkan diri dari CEO Kompas Gramedia, maka posisi komisaris dari grup Kompas kini tinggal satu).
Sementara Global TV, hidup dengan dominasi MTV yang masih terkenang dibenak banyak warganet. Tahun 2004, Global TV mulai memperluas variasi tayangannya, dengan menayangkan sinetron, berita, tayangan olahraga seperti F1 dan program-program lainnya. Tahun 2006, Global TV bekerjasama dengan Nickelodeon. Namun, perlahan tapi pasti, Global TV kian menanjak dengan strategi programming yang sempat “membelot” ke arah in-house programming, sementara jam tayang MTV kian bergeser hingga tahun 2012.
Hadirnya sepuluh stasiun TV ini, pada akhirnya memang memperbesar nilai belanja iklan di televisi. Tahun 2002, ketika kelima stasiun TV ini sudah bersiaran, nilai belanja iklan di televisi mencapai Rp 8 Triliun. Nilai ini terus mengalami kenaikan, seperti pada tahun 2008 menjadi Rp 26,2 Triliun dan tahun 2012 menjadi Rp 57,1 Triliun. Data tahun 2016 kemarin, nilainya menjadi menjadi Rp 103,8 Triliun. Nilai tertinggi jika dibandingkan dengan belanja iklan dari media lain, terutama media cetak yang terus mengalami naik turun.
Terlihat besar, namun penuh dengan kompetisi tingkat tinggi. Bukan hanya pada sesama 10 stasiun TV swasta, namun juga kepada para pesaing baru. Tahun 2004, hadir O Channel, stasiun TV lokal Jakarta yang pada masanya kelak akan ikut bertarung dalam televisi berjaringan, awalnya kerjasama MRA dan Emtek (induk SCTV), meski ditengah jalan MRA melepas sebagian sahan mereka ke Emtek.
Tahun 2009, hadir B Channel dengan pendiri Sofia Koswara dan grup Rajawali Corpora (alias pendiri RCTI dulu), yang tadinya hanya berawal dari adanya TV Nusantara alias TVN di Cikarang, Jawa Barat, kemudian membentuk jejaring dengan stasiun TV di kota lain. Tahun 2014, stasiun TV ini menegaskan identitas Rajawalinya, menjadi Rajawali Televisi dan ikut secara resmi bertarung dalam industri televisi.
Ada juga Jak TV yang lahir di 2005, kerjasama grup Mahaka (Erick Thohir)-Artha Graha (Tomy Winata) dan Jawapos (Dahlan Iskan). Stasiun TV yang awalnya hanya stasiun TV lokal ini kemudian juga membentuk jejaring di televisi jaringan, meskipun memang tak terlihat diresmikan seperti yang lain. Kini, stasiun TV yang jujur saat awal siaran membuat saya bingung dengan strateginya ini, mulai fokus ke program berita dan informasi, dengan tentu kekuasaan penuh ada di grup Mahaka sebagai pemegang saham mayoritas.
Tahun 2008 HT membuat stasiun TV berbama SUN TV, yang kemudian diubah menjadi Sindo TV. Tahun 2015, Sindo TV kembali berubah menjadi iNewsTV, dengan fokus ketiga-tiganya program berita dan informasi, meskipun pada era Sindo TV, sempat juga ditayangkan program anak-anak. Program hiburan dijadikan stasiun TV ini sebagai selingan.
Kompas TV menjadi jalan comeback Kompas Gramedia di industri pertelevisian. Mulai dikonsepkan sejak 2010, dan mulai bersiaran di 2011 dengan menggandeng stasiun TV jaringan di beberapa kota, Kompas TV sempat menyebut dirinya content provider, ketika mengalami persoalan siaran oleh KPI. Meskipun demikian, kini Kompas TV bisa dikatakan sudah (benar-benar) stasiun TV. Tahun 2015 menjadi titik balik Kompas TV bersiaran dengan fokus di program berita dan informasi.
Spacetoon, yang awalnya merupakan stasiun TV “franchise” dari stasiun TV Spacetoon International di Damaskus dan Dubai, didirikan oleh (alm) H. Sukoyo, alias yang awalnya memiliki TV7. Tahun 2005, mereka memulai siarannya dengan membangun beberapa jejaring di daerah, dengan fokus pada program-program anak-anak terutama kartun, meskipun dalam beberapa tahun terakhir mulai mencicipi “home shopping” seperti yang dilakukan beberapa stasiun TV diatas sebelumnya (bahkan hingga tulisan ini dibuat). Tahun 2013, Spacetoon harus “menarik diri” dari siaran FTA setelah diakuisisi oleh Indika dan akhirnya menjadi NET yang kita kenal sekarang, dengan pendiri Agus Lasmono dan Wishnutama. Spacetoon kini bisa disaksikan dengan siaran satelit FTA.
Tahun 2015, muncul Jawapos TV, dengan fokus program berita dan informasi (lagi). Selain itu, stasiun TV dengan konsep berjaringan juga mulai dilakukan banyak stasiun TV lain, seperti CTV Banten, Beritasatu, INTV dan Tempo TV (meski memang yang ini polanya masih berupa content provider), misalnya.
Apakah memang semuanya diatas terbagi? Nampaknya memang belum merata. Mayoritas masih dikuasai (tentu) oleh 10 stasiun TV yang ada. Stasiun TV berjaringan yang mendapat “kue” iklanpun hanya 4 : Rajawali, NET, Kompas dan iNews TV. Stasiun TV diluar itu, hanya mendapat belanja iklan yang cenderung minoritas. Sementara, TVRI harus mengakui terseok dalam persaingan. Share TVRI sendiri masih berada di angka “biner” (0-1%), secara keseluruhan. Nilai belanja iklannya pun, hanya Rp 93 Miliar per tahun (2016, data dari Adstensity) atau kira-kira Rp 7,7 Miliar per bulan, yang tak sebanding, misalnya, dengan SCTV yang bisa meraup Rp 13,06 Triliun dan RCTI yang bisa meraup Rp 14,86 Triliun.
Konflik demi konflik terus terjadi. Pergantian direksi seringkali menimbulkan pergolakan. Kasus-kasus seperti pada saat TVRI di era Farhat Syukri sebagai direktur utama, dimana beberapa persoalan seperti penayangan siaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selalu dituding berupaya makar terhadap Pancasila dan pemerintahan, siaran 2 jam penuh konvensi Partai Demokrat menjelang Pemilu 2014 hingga kasus korupsi pembelian program untuk TVRI yang melibatkan mantan Direktur Program dan Berita TVRI Irwan Hendarmin dan seniman Betawi Mandra, hanyalah sebagian kecil yang terungkap di media.
Citra TVRI yang terlihat tidak kekinian masih saja terus melekat di benak kebanyakan masyarakat.
Meskipun kini TVRI terus berupaya memperbaiki citra ini dibawah direksi Iskandar Achmad sebagai direktur utama, mulai dari penggunaan media sosial yang lebih masif dibandingkan sebelumnya, hingga upaya on-air serta off-air activation, serta mulai ikuti cara kerja produksi stasiun TV swasta, dengan menghadirkan tim kreatif pada beberapa program unggulan TVRI, namun nampaknya perbaikan-perbaikan ini masih membutuhkan waktu dan mesti diuji kembali efektivitasnya, meskipun tantangan yang lebih berat lagi karena TVRI menyandang status LPP alias Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang tak boleh terlalu 100% bergantung para iklan komersial.
Masa-masa 1997-8 adalah masa sulit dalam berbagai sektor ekonomi, bahkan menjalar hingga ke polsosbud (politik-sosial-budaya) di Indonesia. Televisi pun juga mengalami situasi serupa.
Meskipun demikian, televisi pada masa ini dianggap sebagai salah satu “penyulut” api reformasi yang digaungkan oleh para mahasiswa dan aktivis pro reformasi. Posisi televisi secara umum, menjelang hari-hari terakhir Orde Baru, dapat dikatakan telah menjadi pembangkang sepenuhnya terhadap rezim (Ishadi SK : 2014, hlm 75), padahal seperti kita tahu, stasiun TV yang ada saat itu masih berada dalam lingkar keluarga presiden dan kroni-kroninya.
Peristiwa-peristiwa yang dianggap “heroik” tersebut seperti ketika “cabut gigi” menjadi “kode” yang secara tak langsung meminta agar Presiden Soeharto agar mundur. Kejadian ini terjadi di Liputan 6 SCTV, dimana saat itu presenter Ira Koesno mewawancarai Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang jadi salah satu aktivis penuntut reformasi, dan salah satu kalimat yang benar-benar menjadi “kode” tak sengaja terucap : “Ya, enggak bisa. Satu gigi yang sakit harus dicabut. Jangan sampai seluruh badan menderita hanya karena satu gigi yang busuk itu tidak dicabut..” (Ishadi SK : 2014, hlm 186).
Meskipun istilah “cabut gigi” ini sudah dibicarakan sebagai “idiom yang bisa dipahami oleh mereka yang berpendidikan tinggi” dengan Ira Koesno dan produser program saat itu, Don Bosco Selamun (Ishadi SK : 2014, hlm 182) sebagai “penghalusan” terhadap tuntutan, namun Sarwono saat itu mengakui bahwa kesalahan telah tak sengaja ia buat, bahwa “cabut gigi” ini sebenarnya adalah kata sandi dan harusnya yang keluar adalah kata kiasan, meski menurutnya itu juga karena “counter” Ira Koesno yang dianggap mendesak kembali pada pertanyaan soal siapa yang mesti “dikorbankan” (Ishadi SK : 2014, hlm 181).
Hal ini menimbulkan keriuhan di redaksi saat itu hingga ada pihak-pihak yang berupaya untuk menghentikan wawancara, salah duanya pemimpin redaksi Liputan 6 saat itu, Sumita Tobing dan Peter Gontha sebagai bagian dari pemilik SCTV. Meski wawancara bisa selesai dalam dua segmen sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, namun Peter Gontha kemudian memanggil tim redaksi yang bertugas saat itu, karena dirinya mendapat telepon dari beberapa pejabat pemerintah, seperti Menteri Penerangan saat itu, Harmoko (Ishadi SK : 2014, hlm 183).
Kasus yang lain terjadi di RCTI, dimana Desi Anwar, saat itu masih jadi presenter Seputar Indonesia, selama 2 hari berturut-turut mengenakan pita hitam pada pakaian yang digunakannya saat ia bersiaran, sebagai bentuk keprihatinan terhadap situasi yang kian memanas saat demo mahasiswa, yang menimbulkan tewasnya 4 mahasiswa Trisakti (Ishadi SK : 2014, Hlm 172).
Sementara itu, masih di RCTI juga, Dana Iswara menjadi salah satu saksi (karena dikatakan ada para wartawan foto media cetak) dari pernyataan Ketua MPR/DPR dan mantan Menteri Penerangan, Harmoko, yang secara mengejutkan saat itu memberikan pernyataan..
“Dalam menanggapi situasi tersebut di atas, Pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,”
Pernyataan ini jelas-jelas mengejutkan, apalagi mengingat Harmoko adalah salah satu loyalis Soeharto dan dibesarkan juga unsur “ketokohannya” karena Soeharto. Apalagi beberapa hari sebelumnya, ia masih optimis dengan pemerintahan Soeharto, dengan mengatakan bahwa presiden menyambut baik usulan Reformasi (Ishadi SK : 2014, hlm 174). Dia terkenal sebagai Menteri Penerangan terlama, dimana pada masanya sering dilakukan pembredelan izin media cetak seperti Detik dan Tempo, meskipun kenyataannya ia memiliki media cetak kelas “gurem” bernama Pos Kota, yang hingga hari ini masih terbit.
Pernyataan yang “kontroversial” ini segera ditayangkan secara berulang dan materi beritanya disebarkan ke stasiun televisi dalam dan luar negeri. Hal ini karena media televisi dan cetak banyak yang memilih meliput aksi demonstrasi mahasiswa diluar gedung MPR/DPR, dan RCTI sebagai media televisi satu-satunya yang meliput ini. Seperti kasus “cabut gigi”, redaksi segera mendapatkan peringatan dari pemilik RCTI, Bambang Trihatmodjo terkait dengan penayangan liputan tersebut.
Puncaknya dialami Indosiar, dimana mereka melanggar embargo untuk tidak menginformasikan rencana pengunduran diri Presiden Soeharto yang (saat itu) sudah fix dan kecil kemungkinannya untuk batal di malam 21 Mei 1998. Embargo sendiri adalah salah satu bentuk kesepakatan antara narasumber dengan wartawan untuk menahan turunnya berita sampai waktu yang ditentukan, dimana sang narasumber yaitu Amien Rais meminta agar berita tersebut turun setelah pengumuman Presiden Soeharto benar-benar menyatakan mengundurkan diri.
Namun, pemimpin redaksi Fokus saat itu, Dedy Pristiwanto memilih nekat untuk melanggar kesepakatan ini. Dia sudah memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi, dimana jika saat itu Presiden Soeharto batal memutuskan mundur, maka paling terjadi pro kontra, paling sialnya, meskipun tak akan mungkin ditangkap ataupun ditutup karena posisi presiden yang terdesak (Ishadi SK : 2014, hlm 195).
Pada redaksi Fokus, yang saat itu merupakan kerjasama Indosiar dan Kompas, ada kebijakan bahwa segala liputan berita harus lewat “pintu” yang disebut sebagai “sensor” atau Komisi Siaran, yang mengontrol QC (Quality Control) dan sensor terhadap konten yang akan ditayangkan. Hal yang ini sebenarnya umum di stasiun televisi, dimana program-program drama dan non drama yang biasanya terkena aturan ini, namun akan berbeda jika berlaku pada pemberitaan, yang sebenarnya tak bisa dikenai “sensor”.
Namun, konstelasi politik berjalan sangat dinamis saat itu. Opsi yang ditawarkan Presiden Soeharto kepada para menteri-menterinya untuk ikut dalam kabinet (yang disebut) Reformasi ditolak, dan justru mereka semua memilih mundur dari jajaran kabinet, sehingga hanya Sekretaris Negara dan dirinyalah yang masih bertahan. Keputusan ini menghasilkan keputusan yang kita kenal di 21 Mei 1998 tersebut.
Setelah lolos dari “sensor” karena orang-orang di Komisi Siaran sudah pulang, akhirnya berita ini tayang hanya sekali di Fokus Pagi. Sepanjang waktu antara penayangan berita hingga pengumuman resmi pengunduran diri Presiden Soeharto, telepon berdering di redaksi mempertanyakan tentang berita tersebut.
Peristiwa-peristiwa diatas mungkin hanyalah puncak. Jauh sebelumnya, pemberitaan soal aksi mahasiswa dan aktivis menuntut turunnya Soeharto sudah mulai diperkuat, meskipun memang dalam taraf yang hati-hati. Pemerintah juga sempat memberlakukan TV Pool (istilah dimana beberapa stasiun TV berkonsolidasi merelay siaran yang sama, dengan satu stasiun TV sebagai pelaksana produksi, seperti yang rutin dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI), dengan tentunya menggunakan TVRI sebagai pelaksana produksi, untuk meredam dampak meluasnya aksi yang bisa saja berujung kericuhan, meskipun ternyata hal ini tak efektif karena stasiun TV masih diperbolehkan menayangkan program beritanya sendiri, serta beragam protes masyarakat.
Setelah situasi tersebut, perlahan namun pasti stasiun TV yang ada mulai beralih kepemilikan. Seperti RCTI kepada HT atau Hary Tanoe secara resmi di 2001, dengan mengakuisisi Bimantara Citra (kini Global Mediacom), induknya RCTI, melalui sebuah perusahaan yang disebut sebagai Bhakti Investama (kini MNC Investama), yang tadinya perusahaan sekuritas. TPI dijual kepada PT Berkah Karya Bersama, perusahaan yang disebut-sebut (juga) punyanya HT dengan Investment Agreement di tahun 2002 yang jadi pokok persoalan perebutan TPI beberapa tahun setelahnya.
SCTV dijual ke grup Emtek mulai tahun 2001, melalui PT Abhimata Mediatama secara indirect lewat PT Surya Citra Media Tbk, induk SCTV yang baru menjual saham ke publik (IPO) di tahun 2002. Saat itu, grup Emtek belum jadi pengendali, dimana masih berbagi kepemilikan dengan Henry Pribadi dan Sudwikatmono alias Indika, dimana salah satu tandanya adalah penempatan sang anak, Agus Lasmono (yang punya NET sekarang) dalam jajaran komisaris. Tahun 2005, Emtek baru menguasai SCTV secara utuh.
Indosiar, memang sempat beralih kepemilikan, dimana PT Holdiko Perkasa, sebagai induk Indosiar diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) karena kasus rush Bank BCA yang satu induk dengan Indosiar. Namun, beberapa tahun setelahnya Indosiar “kembali” dikuasai utuh keluarga Soedono Salim, yang dipimpin Anthoni Salim, sang anak, setelah kehadiran induk usaha baru Indosiar bernama Indosiar Karya Media, yang dimiliki oleh perusahaan bernama PT Prima Visualindo. Nah, perusahaan inilah yang jadi jalan masuk keluarga Salim disini. Beberapa tahun kemudian, Indosiar Karya Media diakuisisi Surya Citra Media dan akhirnya digabungkan dalam satu perusahaan, sehingga menjadikan Indosiar dan SCTV “saudara” seperti sekarang.
ANTV, memang masih dimiliki keluarga Bakrie, meskipun sempat beralih kepemilikan terkait hutang-hutang yang mesti dibayar, dengan konversi menjadi kepemilikan saham pada tahun 2002.
Meskipun ada informasi bahwa HT masih ada keterkaitan dengan Keluarga Cendana, termasuk saat akuisisi TPI dan RCTI (maksudnya sumber modalnya), namun faktanya justru tidak demikian. HT masih termasuk konglomerasi televisi gaya baru, karena toh kepemilikan semua stasiun TV yang ia miliki sekarang adalah kepunyaannya sendiri, kecuali TPI yang bermasalah. Masih bisa dianggap spekulasi.
Konglomerasi televisi gaya baru muncul ketika ada 5 stasiun TV swasta baru yang hadir di Indonesia. Ini sebagai buah kebebasan setelah Departemen Penerangan sudah tak “sekaku” dulu dalam perizinan, baik media cetak (penghapusan SIUPP) dan media elektronik, yang akhirnya dibubarkan pada 1999. Disini, kita bisa menyebut HT, Chairul Tanjung, Surya Paloh, Abdul Latief, Jakob Oetama sebagai bagian diantaranya.
Kehadiran 5 stasiun TV baru memeriahkan persaingan antar stasiun TV di Indonesia. Sementara itu, TVRI makin terseok dalam persaingan, apalagi ditambah sejak awal abad ke-21, TVRI sempat berganti-ganti badan usaha, dari Perjan kemudian PT (Persero) dan terakhir LPP, berdasar amanat UU Penyiaran di tahun 2002.
Kelima stasiun TV tersebut adalah TV7 milik Kompas Gramedia (izin awal dimiliki oleh pengusaha (alm) H. Sukoyo, yang nantinya mendirikan Spacetoon Indonesia), Trans TV milik Chairul Tanjung dengan Bank Mega sebagai lini usaha terbesarnya, Lativi milik Abdul Latief, mantan Menteri Tenaga Kerja di era Orde Baru yang punya grup pusat perbelanjaan Pasaraya, Global TV milik Bimantara alias HT (izin awal dimiliki kelompok Nasir Tamara, Ralie Siregar – eks direktur utama RCTI, dkk) dan Metro TV dengan Surya Paloh sebagai pemilik (diinformasikan kalau Metro TV pada awalnya sempat dimiliki juga oleh HT melalui Bhakti Investama, meskipun bukan mayoritas).
Kehadiran stasiun TV baru seperti Trans TV tiba-tiba menjadi rising star dalam beberapa tahun sejak siaran awal di 2001, dengan menempati top 5 stasiun TV dengan performance rating dan share tertinggi. Bahkan, pada tahun 2003 sudah bisa untuk balik modal alias BEP (Break Even Point). Meskipun kasus berbeda dialami TV7 dan Lativi yang masih berjuang menghidupi operasionalnya, hingga akhirnya keduanya diakuisisi oleh Trans dan Bakrie dan mengganti brandingnya.
Lativi diinformasikan mengalami jerat hutang, yang salah satunya dikarenakan adanya sangkut paut dengan hutang dari unit usaha Abdul Latief yang lain, Pasaraya yang mesti direstrukturisasi. Dalam sebuah publikasi, Lativi sempat dikabarkan akan diakuisisi beberapa stasiun TV, dari Trans TV hingga TV3 Malaysia. Meskipun kemudian justru keluarga Bakrielah yang menguasai Lativi sejak 2007 dengan menyelesaikan hutang-hutang yang dialami, dan menjadi TVOne dengan fokus program berita dan olahraga. Berubah jauh dari citra Lativi yang dekat dengan “esek-esek” dan smackdown, meskipun sempat bekerjasama dengan Nickelodeon (Dora The Explorer dan Spongebob Squarepants) sebelum akhirnya pindah ke Global TV. TVOne sempat membuka ruang untuk program hiburan (kembali) salah satunya dengan menayangkan drama Turki, yang sayangnya tak sesuai ekspektasi seperti yang dialami ANTV, saudaranya sendiri.
TV7, meskipun dikenal karena merelai siaran Al Jazeera terkait perang Irak beberapa tahun lalu, namun juga tak bisa menghindari dari kerugian. Performanya termasuk tier-2 (peringkat 6-10) bersama ANTV dan Lativi pada masanya. Upaya menjalani kemitraan – “bahasa halus” dari akuisisi, dilakukan Kompas Gramedia dengan grup Trans pada 2006, yang menjadikan TV7 “berganti baju” ke Trans 7. Grup Trans menjadi pemegang saham mayoritas dari Trans 7, namun Kompas masih menguasai sebagian saham Trans 7, yang ditunjukkan dengan adanya Komisaris dari pihak Kompas, Asih Winanti (sebelumnya, sempat ada Agung Adiprasetyo di jajaran komisaris, namun karena Agung mengundurkan diri dari CEO Kompas Gramedia, maka posisi komisaris dari grup Kompas kini tinggal satu).
Sementara Global TV, hidup dengan dominasi MTV yang masih terkenang dibenak banyak warganet. Tahun 2004, Global TV mulai memperluas variasi tayangannya, dengan menayangkan sinetron, berita, tayangan olahraga seperti F1 dan program-program lainnya. Tahun 2006, Global TV bekerjasama dengan Nickelodeon. Namun, perlahan tapi pasti, Global TV kian menanjak dengan strategi programming yang sempat “membelot” ke arah in-house programming, sementara jam tayang MTV kian bergeser hingga tahun 2012.
Hadirnya sepuluh stasiun TV ini, pada akhirnya memang memperbesar nilai belanja iklan di televisi. Tahun 2002, ketika kelima stasiun TV ini sudah bersiaran, nilai belanja iklan di televisi mencapai Rp 8 Triliun. Nilai ini terus mengalami kenaikan, seperti pada tahun 2008 menjadi Rp 26,2 Triliun dan tahun 2012 menjadi Rp 57,1 Triliun. Data tahun 2016 kemarin, nilainya menjadi menjadi Rp 103,8 Triliun. Nilai tertinggi jika dibandingkan dengan belanja iklan dari media lain, terutama media cetak yang terus mengalami naik turun.
Terlihat besar, namun penuh dengan kompetisi tingkat tinggi. Bukan hanya pada sesama 10 stasiun TV swasta, namun juga kepada para pesaing baru. Tahun 2004, hadir O Channel, stasiun TV lokal Jakarta yang pada masanya kelak akan ikut bertarung dalam televisi berjaringan, awalnya kerjasama MRA dan Emtek (induk SCTV), meski ditengah jalan MRA melepas sebagian sahan mereka ke Emtek.
Tahun 2009, hadir B Channel dengan pendiri Sofia Koswara dan grup Rajawali Corpora (alias pendiri RCTI dulu), yang tadinya hanya berawal dari adanya TV Nusantara alias TVN di Cikarang, Jawa Barat, kemudian membentuk jejaring dengan stasiun TV di kota lain. Tahun 2014, stasiun TV ini menegaskan identitas Rajawalinya, menjadi Rajawali Televisi dan ikut secara resmi bertarung dalam industri televisi.
Ada juga Jak TV yang lahir di 2005, kerjasama grup Mahaka (Erick Thohir)-Artha Graha (Tomy Winata) dan Jawapos (Dahlan Iskan). Stasiun TV yang awalnya hanya stasiun TV lokal ini kemudian juga membentuk jejaring di televisi jaringan, meskipun memang tak terlihat diresmikan seperti yang lain. Kini, stasiun TV yang jujur saat awal siaran membuat saya bingung dengan strateginya ini, mulai fokus ke program berita dan informasi, dengan tentu kekuasaan penuh ada di grup Mahaka sebagai pemegang saham mayoritas.
Tahun 2008 HT membuat stasiun TV berbama SUN TV, yang kemudian diubah menjadi Sindo TV. Tahun 2015, Sindo TV kembali berubah menjadi iNewsTV, dengan fokus ketiga-tiganya program berita dan informasi, meskipun pada era Sindo TV, sempat juga ditayangkan program anak-anak. Program hiburan dijadikan stasiun TV ini sebagai selingan.
Kompas TV menjadi jalan comeback Kompas Gramedia di industri pertelevisian. Mulai dikonsepkan sejak 2010, dan mulai bersiaran di 2011 dengan menggandeng stasiun TV jaringan di beberapa kota, Kompas TV sempat menyebut dirinya content provider, ketika mengalami persoalan siaran oleh KPI. Meskipun demikian, kini Kompas TV bisa dikatakan sudah (benar-benar) stasiun TV. Tahun 2015 menjadi titik balik Kompas TV bersiaran dengan fokus di program berita dan informasi.
Spacetoon, yang awalnya merupakan stasiun TV “franchise” dari stasiun TV Spacetoon International di Damaskus dan Dubai, didirikan oleh (alm) H. Sukoyo, alias yang awalnya memiliki TV7. Tahun 2005, mereka memulai siarannya dengan membangun beberapa jejaring di daerah, dengan fokus pada program-program anak-anak terutama kartun, meskipun dalam beberapa tahun terakhir mulai mencicipi “home shopping” seperti yang dilakukan beberapa stasiun TV diatas sebelumnya (bahkan hingga tulisan ini dibuat). Tahun 2013, Spacetoon harus “menarik diri” dari siaran FTA setelah diakuisisi oleh Indika dan akhirnya menjadi NET yang kita kenal sekarang, dengan pendiri Agus Lasmono dan Wishnutama. Spacetoon kini bisa disaksikan dengan siaran satelit FTA.
Tahun 2015, muncul Jawapos TV, dengan fokus program berita dan informasi (lagi). Selain itu, stasiun TV dengan konsep berjaringan juga mulai dilakukan banyak stasiun TV lain, seperti CTV Banten, Beritasatu, INTV dan Tempo TV (meski memang yang ini polanya masih berupa content provider), misalnya.
Apakah memang semuanya diatas terbagi? Nampaknya memang belum merata. Mayoritas masih dikuasai (tentu) oleh 10 stasiun TV yang ada. Stasiun TV berjaringan yang mendapat “kue” iklanpun hanya 4 : Rajawali, NET, Kompas dan iNews TV. Stasiun TV diluar itu, hanya mendapat belanja iklan yang cenderung minoritas. Sementara, TVRI harus mengakui terseok dalam persaingan. Share TVRI sendiri masih berada di angka “biner” (0-1%), secara keseluruhan. Nilai belanja iklannya pun, hanya Rp 93 Miliar per tahun (2016, data dari Adstensity) atau kira-kira Rp 7,7 Miliar per bulan, yang tak sebanding, misalnya, dengan SCTV yang bisa meraup Rp 13,06 Triliun dan RCTI yang bisa meraup Rp 14,86 Triliun.
Konflik demi konflik terus terjadi. Pergantian direksi seringkali menimbulkan pergolakan. Kasus-kasus seperti pada saat TVRI di era Farhat Syukri sebagai direktur utama, dimana beberapa persoalan seperti penayangan siaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selalu dituding berupaya makar terhadap Pancasila dan pemerintahan, siaran 2 jam penuh konvensi Partai Demokrat menjelang Pemilu 2014 hingga kasus korupsi pembelian program untuk TVRI yang melibatkan mantan Direktur Program dan Berita TVRI Irwan Hendarmin dan seniman Betawi Mandra, hanyalah sebagian kecil yang terungkap di media.
Citra TVRI yang terlihat tidak kekinian masih saja terus melekat di benak kebanyakan masyarakat.
Meskipun kini TVRI terus berupaya memperbaiki citra ini dibawah direksi Iskandar Achmad sebagai direktur utama, mulai dari penggunaan media sosial yang lebih masif dibandingkan sebelumnya, hingga upaya on-air serta off-air activation, serta mulai ikuti cara kerja produksi stasiun TV swasta, dengan menghadirkan tim kreatif pada beberapa program unggulan TVRI, namun nampaknya perbaikan-perbaikan ini masih membutuhkan waktu dan mesti diuji kembali efektivitasnya, meskipun tantangan yang lebih berat lagi karena TVRI menyandang status LPP alias Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang tak boleh terlalu 100% bergantung para iklan komersial.