29 Desember 2017
Populasi penduduk dunia ditaksir akan menembus 10 miliar jiwa sebelum
manusia menjajaki abad ke-22. Lompatan populasi ini lahir dari
negara-negara “raksasa” populasi baru seperti India dan Nigeria. Apakah
ini ilusi atau benar-benar akan terealisasi?
Beberapa bilah lempengan granit tegak berdiri di Elbert County, Georgia,
Amerika Serikat (AS) begitu masyhur pada awal 1980-an dengan nama
Georgia Guidestones. Salah satu bongkahan prasasti yang memberi pesan
agar menjaga populasi manusia di bawah 500 juta jiwa demi menjaga
keseimbangan alam.
Georgia Guidestones yang ditulis dengan
delapan bahasa dunia sering dikaitkan dengan teori konspirasi, ada juga
yang menghubungkannya dengan kelompok rahasia yang merencanakan tatanan
dunia baru, dan anggapan miring lainnya. Terlepas apa yang menjadi
“perintah” prasasti misterius itu, dunia kini memang sedang dihadapkan
dengan ledakan populasi yang nyata.
Sedikit menengok ke laman worldometers.info,
setiap detik jumlah manusia bertambah ke angka 7,4 miliar sekian jiwa.
Padahal, jumlah manusia menembus 1 miliar jiwa barulah terjadi saat
menapaki awal abad ke-19, kemudian memasuki abad ke-20 jumlahnya
menembus 1,6 miliar jiwa dan seterusnya naik pesat tak terkira.
Dalam laporan PBB yang berjudul World Population Prospects: The 2015 Revision, manusia diperkirakan akan menyentuh 8,5 miliar jiwa 14 tahun dari sekarang. Lalu pada 2050 akan menembus sekitar 9,7 miliar, dan
genap memasuki akhir abad ke-21 manusia ditaksir akan berjumlah 11,2
miliar orang. Artinya dalam tiga abad manusia sudah bertambah 10 kali
lipat, asal proyeksi ini benar-benar terjadi.
"Memahami perubahan
demografi yang terjadi di masa depan, serta tantangan dan peluang untuk
mencapai pembangunan yang berkelanjutan, adalah kunci merencanakan dan
melaksanakan sebuah agenda pembangunan yang baru,” kata Wu Hongbo,
Sekretariat Jenderal PBB yang membawahi hubungan sosial dan ekonomi.
Harapan
sumir PBB ini berkejaran dengan negara-negara yang selama ini jadi
mesin produksi manusia. Cina dan India barangkali masih yang memegang
kunci populasi terbesar. Masing-masing memiliki penduduk di atas 1
miliar jiwa atau mengambil porsi 19 persen dan 18 persen populasi dunia.
Namun, porsi ini perlahan akan bergeser. Pada 2022 Cina diperkirakan
akan disalip oleh India. India akan menjadi pemegang populasi terbesar
di dunia, negara-negara lainnya muncul sebagai kekuatan baru raksasa
populasi dunia pada 2060.
Data PBB memperkirakan pada 2020
populasi India sudah mencapai 1,383 miliar jiwa, sedangkan Cina nyaris
tersalip di angka 1,4 miliar jiwa. Selain kedua negara ini, negara yang
akan mengambil peran penting terhadap berkembangbiaknya manusia adalah
Nigeria. Pada era 1950-an negara ini hanya punya populasi 37 juta jiwa,
dan pada 2015 sudah mencapai 182 juta jiwa. Negara di sisi barat Afrika
ini akan naik peringkat sebagai negara terpadat ketiga di dunia pada
2060, dengan penduduk ditaksir hingga 237 juta jiwa.
Nigeria dan
beberapa negara Afrika sub sahara lainnya memiliki pertumbuhan penduduk
yang pesat. PBB memperkirakan dalam kurun 2015-2050 separuh pertumbuhan
penduduk dunia berasal dari Afrika. Sebanyak 28 negara Afrika mencakup
Angola, Burundi, Congo, Malawi, Mali, Niger, Somalia, Uganda, Tanzania,
Zambia diperkirakan mengalami pertumbuhan penduduk dua kali lipat.
“Konsentrasi
pertumbuhan penduduk di negara-negara miskin menjadi tantangan membuat
makin sulit memberantas kemiskinan, melawan kelaparan, dan kurang gizi,”
kata John Wilmoth, Direktur Divisi Populasi pada Departmen Ekonomi dan
Hubungan Sosial PBB.
Kemiskinan, kelaparan, persoalan gizi
menjadi masalah yang harus siap dihadapi manusia di masa mendatang
dengan populasi yang makin besar. Namun, sesungguhnya masih banyak yang
akan dihadapi oleh manusia.
Apa yang terjadi bila populasi manusia menghuni bumi hingga 11 miliar
jiwa? Atau hampir naik 50 persen lebih dari posisi saat ini. livescience.com
memetakan persoalan yang akan datang bila manusia mencapai 11 miliar
jiwa. Ihwal utama adalah isu ketersediaan pangan, yang jadi sebuah
pertanyaan besar. Para ahli sepakat bahwa Planet Bumi ini masih cukup
untuk memberi makan bagi 11 miliar mulut umat manusia. Namun,
persoalannya apakah ini bisa berkelanjutan? ini yang belum bisa mendapat
jaminan.
Persoalan pangan cerita lain, yang tak kalah penting soal isu pasokan air bersih. Saat ini saja ada 2,7 miliar populasi manusia menghadapi kekurangan air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Air bersih telah jadi sumber konflik di Timur Tengah, sub sahara Afrika. Konflik air ini diperkirakan akan berkembang di tahun-tahun mendatang dan menjadi tantangan bagi manusia.
Isu perubahan iklim yang klise juga menjadi risiko bagi manusia yang makin penuh sesak. Perkembangan penduduk di negara-negara berkembang dan industrialisasi yang menghasilkan karbon yang menjadi pendorong perubahan iklim. Bertambahnya populasi manusia juga menjadi ancaman bagi populasi hewan di Bumi. Perusakan habitat hewan oleh manusia bakal kian nyata.
Manusia juga akan dihadapkan dengan ancaman wabah penyakit di tengah pesatnya populasi. Beberapa dekade terakhir, para ilmuwan menemukan infeksi penyakit yang berasal dari virus dan bakteri baru.
Persoalan-persoalan bisa saja mendorong manusia untuk hijrah ke planet lain mencari tempat lain di luar Bumi. Pada dekade terakhir cikal bakal manusia menjelajah angkasa mulai nampak dengan hadirnya gagasan misi manusia ke Mars di abad ke-21 dan rintisan wisata ke luar angkasa oleh para manusia berkantong tebal.
Namun, semua ini masih sebatas proyeksi, yang bisa saja terealisasi atau sebaliknya. Pada kurun waktu 1960-1999 populasi manusia memang sempat naik dua kali lipat, dan lompatan besar ini diperkirakan akan sulit terulang lagi di masa depan.
Sebelum jauh menapaki ramalan soal penuh sesaknya manusia di muka Bumi beberapa puluh tahun ke depan, adakalanya melihat kembali pesan Georgia Guidestones yang misteri itu. Membatasi populasi manusia barangkali sebuah pilihan. Dan ternyata manusia secara tak sadar telah melakukannya dengan konflik dan perang yang mereka ciptakan.
“Kita punya epidemi, atau perang, atau kerusuhan yang menghasilkan kematian yang masif,” kata peneliti demografi John Bongaarts.
Persoalan pangan cerita lain, yang tak kalah penting soal isu pasokan air bersih. Saat ini saja ada 2,7 miliar populasi manusia menghadapi kekurangan air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Air bersih telah jadi sumber konflik di Timur Tengah, sub sahara Afrika. Konflik air ini diperkirakan akan berkembang di tahun-tahun mendatang dan menjadi tantangan bagi manusia.
Isu perubahan iklim yang klise juga menjadi risiko bagi manusia yang makin penuh sesak. Perkembangan penduduk di negara-negara berkembang dan industrialisasi yang menghasilkan karbon yang menjadi pendorong perubahan iklim. Bertambahnya populasi manusia juga menjadi ancaman bagi populasi hewan di Bumi. Perusakan habitat hewan oleh manusia bakal kian nyata.
Manusia juga akan dihadapkan dengan ancaman wabah penyakit di tengah pesatnya populasi. Beberapa dekade terakhir, para ilmuwan menemukan infeksi penyakit yang berasal dari virus dan bakteri baru.
Persoalan-persoalan bisa saja mendorong manusia untuk hijrah ke planet lain mencari tempat lain di luar Bumi. Pada dekade terakhir cikal bakal manusia menjelajah angkasa mulai nampak dengan hadirnya gagasan misi manusia ke Mars di abad ke-21 dan rintisan wisata ke luar angkasa oleh para manusia berkantong tebal.
Namun, semua ini masih sebatas proyeksi, yang bisa saja terealisasi atau sebaliknya. Pada kurun waktu 1960-1999 populasi manusia memang sempat naik dua kali lipat, dan lompatan besar ini diperkirakan akan sulit terulang lagi di masa depan.
Sebelum jauh menapaki ramalan soal penuh sesaknya manusia di muka Bumi beberapa puluh tahun ke depan, adakalanya melihat kembali pesan Georgia Guidestones yang misteri itu. Membatasi populasi manusia barangkali sebuah pilihan. Dan ternyata manusia secara tak sadar telah melakukannya dengan konflik dan perang yang mereka ciptakan.
“Kita punya epidemi, atau perang, atau kerusuhan yang menghasilkan kematian yang masif,” kata peneliti demografi John Bongaarts.
Sumber: Tirto.id